Magetan – Potensi bencana di balik bencana. Ungkapan itu patut mendeskripsikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Gunung Lawu.
Wiyono, pengamat lingkungan mengatakan hal ini efek karhutla berkepanjangan, karhutla membuat tegakan di lereng gunung semakin minim. Kalau sudah seperti itu, runoff tidak tertahan.
Limpasan air permukaan di pegunungan semakin tinggi. Selain tak tertahan, air juga tak meresap maksimal. Banjir dan longsor jadi potensi bencana di balik kebakaran.
Banjir dan longsor diprediksi makin besar saat musim penghujan. Sebaliknya, debit mata air bisa menyusut ketika kemarau.
Sebab, infiltrasi air hujan ke dalam tanah berkurang. Potensi bencana itu bisa saja menyasar beberapa kawasan. Seperti Kecamatan Poncol, Plaosan, dan Panekan.
Wiyono menyampaikan kondisi seperti itu pernah terjadi pada 1997, 2008, dan 2015.
Disinggung soal kewaspadaan kebakaran, Wiyono menyorot keberadaan tempat wisata di kawasan pegunungan.
Dia berharap pihak-pihak terkait lebih hati-hati. Terutama dengan berbagai hal yang dapat memicu karhutla. Sebaiknya lokasi wisata dan kuliner di dekat pegunungan atau hutan punya APAR (alat pemadam api ringan).
Diberitakan sebelumnya, karhutla di Gunung Lawu pada musim kemarau tahun ini merupakan kejadian kali sekian alias bukan yang pertama.
Kepala Resort Polisi Hutan (KRPH) Sarangan Supriyanto menyebut kawasan Gunung Lawu sudah beberapa kali dilanda karhutla sebelumnya.
Karhutla yang terjadi pada tahun 2015 disebut-sebut paling parah. Supriyanto, mengingat, nyaris seluruh lahan yang mencapai ribuan hektare terbakar.
Ketika itu, kebakaran berawal dari wilayah utara dan hampir sampai ke permukiman warga.
Supri, sapaan Supriyanto, mengklaim bahwa beberapa kali karhutla yang terjadi itu menambah pengalaman petugas. Agar, karhutla seperti 2015 silam tak terulang. Lebih banyak trik dan kesiapan untuk antisipasi dan penanganan.
Ia menjelaskan bahwa saat ini, lahan terbakar di RPH Sarangan sekitar 22,13 hektare, di RPH Bedagung ratusan hektare. (Yi/RadarMadiun)