Nasional – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menanggapi kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak pada sekitar 3.500 pekerja di pabrik sepatu di Banten. Pabrik-pabrik tersebut diketahui memasok merek internasional, Nike.
PHK itu terjadi di dua perusahaan, yakni PT Adis Dimension Footwear di Balaraja dan PT Victory Ching Luh Indonesia di Pasar Kemis, Tangerang. PT Adis Dimension Footwear dikabarkan telah memberhentikan sekitar 1.500 pekerja, sementara PT Victory Ching Luh memangkas sekitar 2.000 karyawan.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menjelaskan bahwa PHK tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak Desember 2024. Ia juga menegaskan bahwa kedua perusahaan tersebut masih beroperasi hingga saat ini.
Febri mengungkapkan bahwa PT Victory Ching Luh Indonesia merelokasi pabriknya ke Cirebon karena adanya kenaikan upah minimum regional (UMR) lebih dari 6 persen. Perusahaan tersebut disebut telah menawarkan opsi PHK sukarela kepada 2.393 karyawan atau memberikan kesempatan untuk tetap bekerja di pabrik yang baru. Saat ini, pabrik di Tangerang masih beroperasi dengan sekitar 900 tenaga kerja.
Sementara itu, PT Adis Dimension Footwear juga masih tetap beroperasi dengan jumlah tenaga kerja mencapai 10.100 orang. Febri menambahkan bahwa per 3 Maret 2025, jumlah karyawan PT Victory Ching Luh Indonesia yang masih bekerja tercatat sebanyak 15.840 orang.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Yoseph Billie Dosiwoda, membenarkan kabar PHK di dua pabrik pemasok Nike tersebut. Ia menyebut bahwa PHK merupakan langkah yang selalu dihindari oleh perusahaan, terutama di awal tahun ketika penyerapan tenaga kerja berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Billie menyatakan bahwa informasi mengenai PHK ini telah dikonfirmasi dengan pihak-pihak terkait. Ia juga menuturkan bahwa asosiasi merasa prihatin dengan kondisi tersebut, mengingat para anggotanya berusaha menjaga stabilitas agar tidak terjadi PHK.
Menurutnya, kedua perusahaan telah memenuhi tanggung jawabnya dengan memberikan kompensasi kepada pekerja yang terkena PHK sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ia juga menjelaskan bahwa PHK dilakukan secara bertahap sejak November 2024 akibat pesanan yang tidak menentu dan cenderung menurun.
Billie menambahkan bahwa kondisi ini memaksa perusahaan mengambil langkah PHK karena tingginya biaya upah sektoral dan UMR, sementara jumlah pesanan terus berkurang. Ia menegaskan bahwa perusahaan tidak mungkin membayar pekerja tanpa adanya proses produksi. (hmr)