PONOROGO – Pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui Dinas Pariwisata tengah mempersiapkan Grebeg Suro 2025, sebuah event budaya tahunan yang tahun ini digadang menjadi lebih mandiri, inovatif, dan berdampak luas, baik secara ekonomi maupun dalam pelestarian budaya Reog Ponorogo yang kini telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Kepala Dinas Pariwisata Ponorogo, Judha Slamet Sarwo Edi, Saat diwawancarai awak media di depan panggung Grebeg Suro, Alun-alun Ponorogo, pada Senin (16/6/2025). Ia menegaskan bahwa persiapan event ini tidak dilakukan secara instan. Segala sesuatu sudah mulai dirancang sejak lima bulan lalu, termasuk skema anggaran dan pelibatan berbagai pihak. “Persiapan Grebeg Suro ini sebenarnya sudah kita laksanakan jauh hari sebelumnya, bahkan hampir lima bulan yang lalu. Karena yang pertama harus kita persiapkan adalah soal finansial. Kalau kita mau melaksanakan kegiatan, harus jelas dulu sumber anggarannya,” jelas Judha.
Menjawab tantangan efisiensi penggunaan APBD, Pemkab Ponorogo mendorong agar penyelenggaraan Grebeg Suro tahun ini bisa lebih mandiri dan kreatif dalam hal pembiayaan. “Kami ingin, atas arahan Bapak Bupati juga, bagaimana menciptakan event yang bukan hanya untuk hiburan, tapi benar-benar berdampak bagi perekonomian. Misalnya UMKM dan pelaku usaha pariwisata bisa jalan. Tapi kita juga harus mulai berpikir tidak selalu menggantungkan APBD, karena APBD ke depan harus lebih banyak diarahkan untuk layanan publik dan kebutuhan rakyat,” terangnya.
Dalam skema ini, Dinas Pariwisata menggandeng berbagai sponsor dan event organizer, dengan prioritas EO lokal agar potensi daerah bisa dioptimalkan. “Kami bekerja sama dengan mitra, sponsorship, dan event organizer, terutama dari internal Ponorogo. Kalau tidak ada yang bisa dari dalam, baru kita buka kerja sama dengan luar. Karena terus terang, event ini sudah menjadi event yang menjual, event yang layak jual karena statusnya sudah nasional,” ungkap Judha.
Event Grebeg Suro telah masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN) selama empat tahun berturut-turut, yang berarti memiliki legalitas dan kredibilitas nasional bahkan internasional. “Event ini sudah menjadi bagian dari kalender nasional KEN. Ini keempat kalinya berturut-turut. Artinya, event ini sudah bertaraf nasional dan bahkan menjadi ajang promosi internasional. Makanya ini layak jual,” tambahnya.
Judha juga menjelaskan bahwa dalam skema pembiayaan, pihaknya mempresentasikan kepada EO dari berbagai kota seperti Surabaya, Solo, Jogja, Jakarta hingga Bandung, termasuk membuka kemungkinan bagi revenue sharing, sponsorship hingga penyewaan tenant untuk meningkatkan pemasukan. “Saya menyodorkan skema anggaran ke beberapa EO, misalnya sharing Rp350 juta. Kemudian kita cari sponsor, buat venue dengan tenant yang bisa memberikan pemasukan. Jadi event ini memang harus bisa membiayai dirinya sendiri,” jelasnya.
Partisipasi masyarakat tidak hanya diharapkan, namun menjadi indikator penting keberhasilan event, sesuai kriteria dari Kementerian Pariwisata dan UNESCO. “Seluruh warga masyarakat Ponorogo, semua elemen, harus mendukung. Harus berpartisipasi demi suksesnya perhelatan ini. Saya mohon dengan hormat, banggalah dulu dengan event ini, karena kalau sudah bangga, pasti akan muncul rasa cinta. Kalau sudah cinta, mereka akan merasa ikut memiliki dan bahagia,” tegas Judha.
Ia menambahkan bahwa event ini bukan hanya milik Dinas Pariwisata atau Pemkab, tapi milik seluruh masyarakat Ponorogo. “Dalam bahasa Jawa, kita tanamkan rasa ‘rumongso handarbeni’ terhadap event ini. Jadi event ini bukan sekadar kegiatan wisata atau kegiatan pemerintah, tapi ini adalah event kebanggaan bersama,” katanya.
Grebeg Suro juga berfungsi sebagai sarana pelestarian budaya Reog Ponorogo, yang kini resmi diakui sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) oleh UNESCO. Sebagai bentuk komitmen, Ponorogo menerapkan skema transmisi budaya secara berjenjang. “Event ini bukan hanya sekadar pertunjukan. Ini adalah bagian dari skema transmisi budaya. Di dalamnya ada Festival Nasional Reog Ponorogo, kemudian Reog Remaja, Reog Anak, bahkan Reog Wayang Gulat. Ini semua adalah action plan yang kita sampaikan kepada UNESCO sebagai janji pelindungan terhadap Reog Ponorogo,” papar Judha. “Kalau skema ini terus berjalan, mulai dari anak kecil sampai dewasa akan mengenal, mencintai, dan melestarikan Reog. Ini adalah pelindungan nyata, bukan hanya di atas kertas,” tambahnya.
Pemkab juga melibatkan ratusan volunteer muda, sebagai bagian dari kaderisasi pelestari budaya dan penyelenggara event. Para pelaku seni dan seniman lokal Ponorogo pun dilibatkan secara penuh. “Anak-anak muda kita libatkan sebagai relawan. Mereka bangga menjadi bagian dari event ini, membantu sebagai panitia. Kita tanamkan semangat handarbeni sejak remaja. Pelaku seninya pun semuanya dari Ponorogo,” ujar Judha.
Mengakhiri wawancara, Judha mengajak seluruh lapisan masyarakat, termasuk media dan netizen, untuk menjadikan Grebeg Suro sebagai bagian dari kebanggaan kolektif. “Saya mengajak teman-teman media, media sosial, dan netizen. Ini adalah milik panjenengan semua. Hadirlah, membersamai event ini, mendukung dengan tenaga, pemikiran dan pendapat. Semua kita tujukan supaya event ini menjadi berkualitas, menjadi event kebanggaan kita semuanya,” pungkasnya. (hmr)