Nasional – Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memperkirakan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah menyebabkan kerugian negara yang secara nominal bahkan bisa melebihi dampak dari kasus PT Timah Tbk. Ia menyampaikan bahwa kerusakan ekosistem akibat pertambangan lebih besar nilainya dibandingkan keuntungan ekonomi yang diterima negara dari perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut.
Fahmy menjelaskan bahwa Raja Ampat memiliki kekayaan flora dan fauna langka yang, jika punah, tidak bisa direklamasi atau dikembalikan lagi. Ia menilai kerugian ekologis akibat hal ini sangat besar.
Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan perhitungan, kerugian negara akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat dapat melebihi Rp300 triliun. Perkiraan ini ia ambil sebagai perbandingan dari kasus dugaan korupsi tata niaga timah oleh PT Timah Tbk pada 2015–2022, di mana kerusakan lingkungan diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar Rp271 triliun menurut ahli lingkungan hidup.
Fahmy menilai bahwa kerugian lingkungan di Raja Ampat kemungkinan jauh lebih besar daripada kasus PT Timah. Oleh karena itu, ia menyebut langkah Presiden Prabowo Subianto yang mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan tambang di kawasan tersebut belum cukup. Ia menyarankan agar pemerintah juga mencabut IUP PT GAG Nikel (GN).
Menurutnya, argumen bahwa PT GAG telah melaksanakan reklamasi dengan baik dan bahwa lokasi tambangnya berjarak 40 kilometer dari pusat konservasi Raja Ampat tidak dapat dijadikan pembenaran. Ia mencontohkan bahwa limbah tambang berupa debu nikel bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer dan berpotensi mencemari lingkungan serta membahayakan kesehatan manusia karena kandungan arsenik di dalamnya.
Fahmy menilai alasan jarak sebagai dasar tidak ditutupnya tambang tersebut kurang tepat. Ia juga menuding bahwa PT GAG telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang segala bentuk pertambangan di pulau dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi.
Ia menegaskan bahwa larangan tersebut didukung oleh putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak boleh ada pengecualian. Menurutnya, pelanggaran tersebut harus ditindak tegas.
Fahmy menyampaikan bahwa aktivitas pertambangan di Raja Ampat seharusnya dihentikan sepenuhnya demi mencegah krisis ekologi. Ia juga mendorong aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan, untuk menyelidiki bagaimana kelima perusahaan bisa mendapatkan izin tambang. Ia mengkhawatirkan adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan izin tersebut bisa dikeluarkan, dan apabila terbukti, pelakunya harus ditindak secara hukum.
Diketahui bahwa terdapat lima perusahaan yang memiliki IUP di wilayah Raja Ampat. Dua di antaranya, yakni PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), memperoleh izin dari pemerintah pusat, sedangkan tiga lainnya—PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham—mendapat izin dari Pemerintah Daerah Raja Ampat.
Setelah Presiden Prabowo mencabut empat dari lima IUP tersebut, aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut menjadi sorotan. Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri pun mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan IUP di kawasan tersebut. Brigjen Nunung Syaifuddin, selaku Direktur Tindak Pidana Tertentu, menyatakan bahwa penyelidikan difokuskan pada empat IUP yang telah dicabut pemerintah. (hmr)
sumber: cnnindonesia