Ponorogo – Hujan tak menyurutkan semangat ribuan masyarakat yang memadati sisi utara Alun-Alun Ponorogo, tepat di depan Patung Singa, tempat digelarnya Ponorogo Creative Festival (PCF) 2025 Vol. 4. Pada Kamis, (22/05/2025).
Di bawah rintik hujan, festival ini menjelma menjadi panggung harmoni antara tradisi, seni kontemporer, dan kesadaran lingkungan hidup.
Dengan tema “PringHarmonic”,PCF 2025 mengusung bambu sebagai simbol utama—bukan sekadar material dekoratif, tetapi sebagai wujud komitmen terhadap hubungan harmonis antara manusia dan alam. Bambu tampil dalam rupa instalasi seni, properti pertunjukan, hingga makna konseptual di tiap mata acara.
Festival dibuka dengan Gajah-gajahan dari tiga desa: Surodento, Tepeng, dan Pinggirsari, menandai spirit kolaboratif masyarakat akar rumput. Kemudian, Opening Ceremony PCF Vol. 4 resmi dimulai, menampilkan parade budaya yang kaya warna dan nilai.
Suasana berubah intim saat pemutaran film Umprik karya komunitas film lokal seperti Manual Production, ParingArt, dan Tim Wingit. Ini menjadi bukti geliat film indie Ponorogo yang kian matang.
Anak-anak tak kalah memukau lewat pentas wayang dalang cilik oleh Denis dan Arga, dilanjut dengan tari kolosal persembahan Joana Tanama bersama Ponorogo Dancer. Tak ketinggalan, panggung ludruk oleh Bengawan Aji, kolaborasi musik antara Reyogland × Panglima, atraksi sport akrobatik dari PNGR BMX, dan demonstrasi oleh Persatuan Panahan Indonesia turut menghipnotis penonton.
Bupati Ponorogo dalam sambutannya menekankan bahwa PCF 2025 bukan hanya panggung seni, tapi juga panggilan akan kesadaran lingkungan.
“Tema ‘PringHarmonic’ bukan sekadar estetika, tapi pesan spiritual: kita diminta menjaga alam, seperti pesan Nabi Nuh untuk membangun kapal besar saat banjir akan datang. Hari ini, alam memberkati kita dengan hujan—tanda restu bahwa acara ini sukses dan akan menjadi tonggak ekonomi kreatif menuju panggung dunia,” ujar beliau dengan penuh semangat.
Sementara itu, Dessy Ruhati, Sekretaris Menteri Kementerian Ekonomi Kreatif RI, mengapresiasi geliat seni Ponorogo:
“Ekonomi kreatif adalah denyut nadi seni, yang harus dilakukan dengan ihsan—dengan sebaik-baiknya. Kami melihat itu di Ponorogo: dalam seninya, masyarakatnya, dan semangatnya. Kami siap mendampingi langkah strategis Ponorogo menuju jejaring UCCN UNESCO sebagai pusat peradaban dunia yang inklusif dan mendunia,” tuturnya.
Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Wakil Bupati Ponorogo, Ketua DPRD, Forkopimda, dan Rektor IAIN Ponorogo menandai dukungan penuh terhadap festival yang perlahan menegaskan posisi Ponorogo di peta ekraf nasional dan global
PCF 2025 bukan hanya festival, melainkan gerakan. Gerakan untuk merawat tradisi, memperkuat nilai, dan menjadikan seni sebagai bahasa universal yang menyatukan manusia dan alam.
Ponorogo tidak hanya sedang berkarya. Ponorogo sedang berdoa—dengan bambu, dengan tari, dengan musik—untuk masa depan yang lebih harmoni. (hmr)